Agamaisasi Politik: Membaca Diaspora Gerakan Islam Kontemporer

Isu mendasar yang menjadi fokus utama dalam memetakan gerakan Islamisme kontemporer adalah pandanganya mengenai tatanan politik. Selama ini publik cenderung memahami sekaligus merancukan pemaknaan atas definisi Islamisme sebagai sebuah fenomena keimanan dan menjadi bagian yang terintegrasi dalam ajaran Islam secara inheren. Akan tetapi,Bassam Tibi menegaskan bahwa orientasi utama Islamisme adalah mengenai tatanan politik dan bukanlah persoalan keimanan. Poin inilah yang menjadi faktor dikotomis atas Islam sebagai entitas religi dengan Islam sebagai pranata politik. Meskipun demikian, Islamisme tidaklah sekular dan bukanlah berasal dari domain eksternalitas. Melainkan memang lahir dari krisis yang terjadi dalam internal dunia Islam. Tibi (2012:1) juga menambahkan bahwa kredo utama Islamisme mengenai tatanan politik didefinisikan sebagai bentuk “agamaisasi politik”. Term ini tentunya berbeda dengan “politisasi agama” yang memiliki arti penggunaan instrumen-instrumen agama demi tujuan politik praktis. Politisasi Islam merupakan proses yang denganya agama diartikulasikan untuk kepentingan politik yang tidak sejalan dengan ajaran agama.
Sementara itu, dalam perkara Islamisme, agamaisasi politik lebih berarti pada upaya
promosi atas suatu tatanan politik yang dipercaya beremanasi dari kehendak Tuhan dan bukan
berasal dari konsensus bersama. Agama politis menjadi satu-satunya alternatif baru yang
dikembangkan untuk mencapai tujuan non-religius lainya.Islamisme berkembang sebagai sebuah ideologi transnasional yang dijalankan oleh para aktor non-negara dengan cara meredpusi visi
universalitas Islam yang tertuang dalam hukum syariat. Islamisme juga memiliki cita-cita untuk
membentuk suatu tatanan politik baru yang berada di bawah sistem tunggal sekaligus menjadi
sebuah wahana baru dalam mengintegrasikan berbagai batasan politik demi kesatuan agama. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa kredo utama Islamisme adalah memforsir perintah hukum
syariat yang dimandatkan lewat konstitusi (negara) dalam membentuk tatanan masyarakat yang
diindikasian sebagai bentuk kontrak moral dan kesetiaan terhadap keimanan (Abdullah, 2016).
Dalam tradisi muslim klasik, Islam tidak mempraktekan cara-cara seperti ini. Dalam kerangka iman dan beserta penjelasan turunanya, Islam menyiratkan nilai-nilai politis namun tidak memberikan ketentuan khusus mengenai tatanan pemerintahan. Meskipun Islamisme berbeda dengan Islam, tetapi Islamisme merupakan tafsir politis-ideologis atas agama ini. Dengan kata lain,Islamisme merupakan fenomena modernitas yang didasarkan atas Islam meskipun seringkali tidak berada dalam domain kembalinya sejarah kepada jalan yang suci sebagaimana visi yang seringkali ditawarkan. Oleh karena itu, Islamisme tumbuh dari interpretasi dan rekonstruksi tafsir spesifik atas Islam yang di satu sisi sebenarnya kurang kuat dari segi metodologi karena banyak anakronisme nilai yang dipaksakan.
Di sisi lain, kendatipun berasal dari interpretasi internal, Islamisme bukanlah Islam; itu merupaka ideologi politik reaksioner yang berbeda dari sejarah ajaran agama Islam. Jika persoalan mendasar ini tidak dipahami dengan cermat, maka siapapun dapat terjebak dalam pemahaman yang miskin substansi dan menyatakan bahwa Islamisme semata-mata lahir sebagai penyalahgunaan instrumental atas tafsir agama. Padahal, dalam lintasan sejarah, kemunculan Islamisme merupakan bentuk fundamentalisme religius yang diforsir dalam gagasan politik reduksioner.Eric Hobswan menambah dengan jelas gambaran yang diungkapkan oleh Tibi dalam mendikotomikan Islamisme dan Islam tanpa harus melepaskan keutuhan konteks dimana “Islam” menjadi sandaran utamanya. Hobswan mengatakan bahwa Islamisme senantiasa mendambakan kebangkitan kembali kejayaan Islam atas dasar legasi sejarah dan legitimasi kitab suci, namun upaya tersebut merupakan sebuah “tradisi yang dibuat-buat”. Oleh karena itu, suatu tradisi yang dibuat-buat atau tradisi ciptaan tidak bisa dipahami dengan komperhensif apabila tidak terhubung dengan ide asal dari mana Islamisme muncul. Tibi (2012:7)3 memberikan kategorisasi untuk mengidentifikasi enam tema utama sebagai dasar hubungan antara Islamisme dengan Islam
berkaca dari sejarah. Enam tema utama tersebut meliputi: (1) interpretasi Islam sebagai tatanan
negara, (2) persepsi akan peradaban dunia modern yang dianggap berkonflik dengan tujuan Islam,
(3) demokratisasi dan kedudukan Islam di dalamnya ,(4) evolusi dari jihad klasik menuju jihad
kontemporer (teroris), (5) penciptaan ulang syariat, dan (6) persoalan kemurnian dan autensitas.
Keenam tema tersebut, telah memberikan penguatan atas agenda agama yang diartikulasikan
dalam suatu bentuk penerimaan yang bersifat politis. Selain itu, enam tema utama tersebut juga
ikut memberikan sumbangsih terhadap penguatan identitas, asal-usul, serta pemaknaan mendalam
atas istilah Islamisme. Dimana, Islamisme merupakan interpretasi spesifik atas Islam yang
kemudian berkembang dengan tambahan “isme” yang melukiskan terjadinya perubahan dari ide
aslinya menjadi kebaharuan ideologi. Contohnya, penambahan “isme” yang disematkan di
belakang nama Karl Marx mencerminkan suatu upaya untuk mentransformasikan berbagai
pemikiran modern Eropa yang kemudian dikembangkan secara radikal oleh penerusnya dan
menjadi ideologi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Pemikiran Karl Marx kemudian
juga dikembangkan menjadi gagasan yang lebih revolusioner oleh Lenin menjadi komunisme
totalitarian, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh Marx. Berdasarkan premis tersebut, kita
dapat meminjam kerangka berpikir dengan menggunakan analogi komparasi demikian untuk
menjelaskan genealogi kemunculan Islamisme kontemporer. Islamisme menjadi bentuk dari
ambisi terhadap semua fundamentalisme agama untuk membentuk ulang tatanan negara dalam
satu kesatuan agama dan politik atas klaim sejarah dan perintah Tuhan.
Persoalan mengenai tatanan politik dalam kebaharuan ide agama tersebut akhirnya
mengerucut pada suatu sistem yang diimajikan berasal dari perintah Ilahi yang diberi nama
hakimiyat Allah (kehendak Tuhan), dimana hal tersebut tidak pernah ada dalam sejarah Islam di
masa klasik. Tatanan ilahi ini kemudian akan menciptakan revolusi Islam yang dirancang untuk
mengerahkan ke perdamaian dunia di bawah supremasi agama Islam atas seluruh dunia. Empat
Supremasi ini tidak hanya melahirkan sebuah internasionalisme Islam , tetapi juga pandanganya
mengenai tatanan politik yang mengklaim universalitas atas ide-ide politiknya. Islamisme
kemudian berkembang sebagai ideologi yang bertujuan untuk merevolusi tatanan politik global
dalam bagan kesatuan tunggal yang terintegrasi dalam batasan agama dan terinkorporasi satu sama
lain lewat populisme gerakan masa transnasional. Bennedict Anderson menyebut agenda
Islamisme dalam mereka ulang tatanan politik dan pembentukan kembali entitas kewarganegaraan
sebagai “komunitas yang dibayangkan (imagined community)”. Lebih jauh, Andersen berupaya
mengembangkan konsepsi “komunitas yang dibayangkan” dengan cara mendalami nasionalisme
yang dianggap olehnya sebagai nilai paling legitim secara universal dalam kehidupan politik dunia
modern. Bagaimanapun juga, ide dasar Islamisme memiliki isu dan hubungan dasar dengan
nasionalisme dan pada pokok paling ambigu, Islamisme itu skeptis akan bentuk negara-bangsa
sebagai unit politik paling fundamental serta banyak menolak konsep yang mendasari modernitas.
Andersen mencoba menguraikan wacana Islamisme akan “komunitas yang dibayangkan” sebagai
bagian subordinat dari tatanan global pada satu ide utama. Secara de facto komunitas yang
dibayangkan tersebut setidaknya memiliki kedudukan dalam melegitimasi kesalehan kolektif yang
diidentifikasikan dengan persetujuan atas penciptaan tatanan politik baru berbasis syariat yang
memberikan sebuah ketentuan bahwa kepala negara harus memediasi hubungan antara Tuhan dan
manusia.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kredo utama Islamisme mengindikasikan
terwujudnya nizam al islami (tatanan politik berbasis syariat) dan din wa daulah (kesatuan antara
agama dan negara) di bawah suatu sistem yang secara konstitusional dimandatkan oleh hukum
syariah dan menjadi sebuah wahana baru dalam mengintegrasikan berbagai batasan politik demi
kesatuan agama ( Dimas Rizky Agustiyanto – Unnes )

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *