
Dinasti Politik merupakan pemahaman masyarakat dalam mengartikan tentang keadaan dimana kekuasaan maupun pengaruh politik berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya yang masih dalam satu keluarga atau ikatan darah. Dengan kata lain, ini merupakan strategi tersendiri untuk tetap menjaga kekuasaan politik dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah dipegang kemudian diserahkan atau diturunkan kepada orang yang masih sanak keluarga ataupun memiliki hubungan darah. Dinasti politik juga sebenarnya merupakan suatu pola yang terdapat di masyarakat yang meniru gaya orang Barat, hal ini dapat dilihat pada lingkup perpolitikan di negara Amerika dan Filipina. Adapun berbagai gejala yang mendasari terbentuknya suatu dinasti menurut Wasisto (2013 : 203) dapat dianalisis dari dua hal. Pertama, macetnya kaderisasi partai politik dalam menjaring calon pemimpin yang berkualitas, sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepada pemimpin untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan pemimpin untuk berkuasa dengan mendorong kalangan keluarga atau orang dekat dengan pimpinan dalam menggantikan petahana1. Dengan demikian, dinasti politik mempunyai arti kekuasaan yang dijalankan oleh pihak yang memiliki hubungan secara biologis, sosial, dan budaya antara satu sama lain dan saling mempertahankan kekuasaannya.
Kedua gejala umum diatas akan menimbulkan berbagai sikap pro dan kontra dalam pemahaman dinasti politik tersebut. Pendapat dari pro menyebutkan semua warga mempunyai hak untuk mencalonkan diri, sedangkan yang kontra menyebutkan bahwa dinasti politik akan memperburuk demokrasi di Indonesia. Namun, dengan adanya pro dan kontra dari perkara tersebut, sebagian pendapat mengatakan dinasti politik hanya memanjakan para sanak saudara dari pemimpin yang sedang menjabat ataupun kaum konglomerat yang dengan mudahnya menggunakan moneter untuk membeli kursi parlemen di ranah politik. Yang begitu disayangkan dari masyarakat Indonesia ialah belum sepenuhnya merasakan kesejahteraan maupun kemakmuran yang signifikan dari adanya dampak demokrasi. Dinasti politik tidak hanya bertumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat demokratis-liberal, namun pada hakikatnya dinasti politik juga tumbuh dan berkembang di lingkup masyarakat otokrasi dan monarki. Dimana sistem monarki merupakan sebuah sistem kekuasaan yang sudah jelas dan pasti akan diturunkan kepada putra mahkota dalam kerajaan tersebut.
Fenomena dinasti politik bukanlah hal yang baru-baru ini terjadi, bahkan dari berakhirnya orde lama sudah muncul adanya praktik dinasti politik, namun praktik yang diterapkan pada kala itu tidak begitu menarik perhatian. Sedangkan di era reformasi ini, begitu maraknya praktik dinasti politik menunjukkan adanya akar feodalisme dan tradisi monarki yang masih berkembang hingga saat ini. Seiring berjalannya waktu, praktik dinasti politik ini tidak hanya dilakukan oleh calon Presiden dan Wakil Presiden namun juga dilakukan oleh beberapa calon Gubernur bahkan sampai tingkat Bupati, Wali Kota, Ketua Partai dan Ketua DPR baik nasional maupun daerah. Saat ini, dinasti politik masih menjadi isu hangat yang merebak di berbagai daerah dan tidak jarang pula menjadi perbincangan di berbagai channel media elektronik. Praktik semacam ini seharusnya segera dihentikan, tidak hanya melanggar ataupun menyalahi semangat hakiki demokrasi, namun juga berpotensi kuat dalam menutup peluang masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin.4 Dikarenakan didalam praktik dinasti politik akan menutup mobilisasi sosial, sebab kekuasaan hanya diasosiasikan atau ditawarkan untuk golongan masyarakat tertentu seperti sanak saudara dan kaum elit politik. Kemunculan para elit dalam demokrasi tersebut lazim dikenal dengan istilah reorganisasi kekuasaan. Reorganisasi ini diartikan sebagai kembalinya pengaruh kekuasaan politik elit ke dalam era demokrasi.
Secara umum, basis fondasi kekuasaan dinasti politik di Indonesia baik di ranah lokal maupun nasional dibangun berdasarkan hubungan paternalistik melalui redistribusi program populis yang dihasilkan dari skema politik ‘gentong babi’ (pork barrel politics) maupun politisasi siklus anggaran (politics budget cycle). Hal inilah yang nantinya akan mendorong adanya hubungan kedekatan maupun romantisme antara pemimpin dengan rakyatnya sehingga pemimpin akan mudah dalam membentuk politik persuasif melalui memberikan segelontor uang maupun bantuan pangan seperti sembako. Bahkan tidak jarang pula calon pemimpin yang menggunakan skema politik kampanye dengan memasang baliho di pinggiran atau persimpangan jalan. Berkaitan dengan suksesi calon pemimpin, politisasi birokrat maupun sosialisasi tokoh masyarakat menjadi bagian intimitas yang bertindak sebagai agen intermediasi dalam memenangkan dan melanggengkan kekuasaan famili politik.
Praktik dinasti politik merupakan praktik yang tidak sehat bagi demokrasi, dikarenakan memperkecil peluang orang-orang non-dinasti duduk di kursi parlemen. Di ruang demokrasi sesuatu kewajaran tanpa adanya peraturan itu akan merusak. Kedua hal ini akan mempersempit peluang bagi masyarakat umum yang mempunyai kompetensi di bidang politik dan pemerintahan untuk dapat bersaing dengan mereka para kaum dinasti. Kemungkinan hal yang akan terjadi apabila masyarakat umum tidak bisa bersaing yakni kekuasaan akan terus bergilir di pegang oleh orang-orang dinasti maupun kaum elit. Sehingga dampak sosial yang ditimbulkan oleh dinasti politik signifikan dan bahkan menimbulkan kekhawatiran mengenai kesenjangan sosial bagi masyarakat. Praktik ini bertujuan untuk mendapatkan kemurahan hati anggota keluarga dengan cara memanipulasi orang lain merupakan salah satu dari dampak negatif dinasti politik dalam sistem demokrasi. Praktik ini juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dampak negatif lainnya adalah semakin maraknya regenerasi pemerintahan yang merugikan pemerintahan dengan adanya kemunculan silsilah keluarga yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat serta sangat tidak kompeten dalam urusan perpolitikan maupun pemerintahan. Dinasti politik membatasi ruang gerak bagi para kader partai dalam mengembangkan pemikiran- pemikiran dan aktualisasi kepemimpinannya untuk mendapatkan kursi pemerintahan. Inilah kelemahan dari dinasti politik itu sendiri yakni mengandalkan partai untuk dijadikan alat kendaraan politik yang bergantung pada popularitas dan kekayaan, kandidat yang memenuhi syarat karena kehadiran individu berkuasa yang melayani kepentingan elit, dan tantangan membangun negara dengan sistem pemerintahan yang jujur, bersih dan demokratis serta menghilangkan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dinasti politik biasanya mempunyai tujuan tersendiri setidaknya ada dua hal. Pertama, menjadikannya sebagai mekanisme untuk menumpuk harta kekayaan pribadi dan mempertahankan kekuasaan dinasti politik. Kedua, menjadikannya sebagai benteng untuk menutupi rekam jejak koruptif yang dilakukan oleh pemimpin dari jaringan keluarga di era sebelumnya.
Citra dinasti politik dianggap mempunyai konotasi negatif dalam pelaksanaan sebuah tatanan pemerintahan dikarenakan memiliki keterikatan terhadap penyimpangan kekuasaan yang berakibat pada terjadinya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dinasti politik juga merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindarkan dan kerap kali menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan masyarakat. Hal ini terjadi karena citra dinasti politik dengan sangat kuat mengarah pada upaya untuk mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara yang kurang baik, seperti mengedepankan kepentingan keluarga sendiri, menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan demi tercapainya kepentingan dan keuntungan pribadi atau golongan.6 Dinasti politik dapat dianggap menyimpang dari demokrasi dan keadilan, apabila basis bangunan imperium dinasti menjadi yang utama, tanpa adanya mempertimbangkan kualifikasi dan rekam pendidikan maupun prestasi, bahkan bisa menjurus pada nilai-nilai nepotisme. Ini menandakan bahwa dinasti politik berdampak kurang baik pada sistem pemerintahan saat ini karena lebih mengdepankan regenerasi kekuasaan demi mempertahankan kekuasaan yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan, golongan dan kekerabatan. Peristiwa dinasti politik akan terus berkembang atau terhenti tergantung dari tindakan generasi penerusnya. Keuntungan ini akan dimanfaatkan untuk mempertahankan sekaligus mewariskan kekuasaan dinasti politik.
Keberlangsungan dinasti politik suatu pertanda masih minimnya pemahaman pendidikan politik di tanah air dan minat dari masyarakat yang kurang ditonjolkan. Dalam menduduki jabatan pemerintahan sebenarnya terbuka bagi siapa saja yang memenuhi syarat dan kriteria, sehingga warga masyarakat mempunyai peluang yang terbuka ini. Namun jabatan itu hanya dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan maupun kedekatan secara emosional. Dalam sebuah lembaga politik, mereka yang masih memiliki hubungan kedekatan dengan keluarga seringkali mendapatkan perlakuan istimewa untuk menempati berbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan sebuah organisasi. Tumbuh berkembangnya dinasti politik selalu menjadi pro kontra di kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Umumnya karena dianggap mempunyai kapasitas untuk menyebabkan penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan. Di sisi lain, terdapat konsensus yang berkembang bahwa adanya larangan anggota keluarga pemimpin atau petahana berpartisipasi politik merupakan suatu pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara dan hak asasi manusia.
Munculnya dinasti politik dalam demokrasi memang tidak dapat dilarang, namun praktik ini setidaknya dapat dicegah dan dihambat agar tidak merajalela serta merusak tatanan demokrasi. Pencegahan yang bisa dilakukan oleh masyarakat dengan melakukan sosialiasi tentang pendidikan politik dan membangun budaya rasional terhadap masyarakat. Pemahaman akan sistem perpolitikan itu penting, namun terkadang masyarakat enggan ikut aktif untuk memahami konteks politik tersebut. Ketika muncul ketidaksetujuan sistem politik barulah mengajukan protes. Dinasti politik sudah berakar, mencabut akar secara langsung juga hal yang mustahil. Tetapi mengintervensi ke ruang politik sehingga keberlanjutan dinasti politik dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
‘Aisy, S. R. (2023). Dinasti Politik di Indonesia : Studi Kasus Kekuasaan Keluarga di Berbagai Periode Sejarah. Universitas Negeri Semarang, 11- 13.
Bimantara, N. (2017). Analisis Politik Dinasti di Kabupaten Kediri. Universitas Diponegoro Semarang, 2.
Dedi, A. (2022). Politik Dinasti dalam Perspektif Demokrasi. Jurnal MODERAT, 8, 94-99.
Djati, W. R. (2013). Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi : Dinasti Politik di Aras Politik. Jurnal Sosiologi Masyarakat, 18, 208.
Effendi, W. R. (2018). Dinasti Politik dalam Pemerintahan Lokal Studi Kasus Dinasti Kota Banten. Jurnal Trias Politika, 233-235.
Mashari, R. M. (2023, Desember). Pengaruh Politik Dinasti dalam Pemilihan Kepala Daerah terhadap Keberlangsungan Demokrasi di Indonesia. Jurnal Suara Pengabdian 45, 58-59.
Raissoevel, N. F. (2021). Pengaruh Politik Dinasti terhadap Pemenuhan Hak Politik Warga Negara (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kota Surakarta 2020). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 6.
Robinson Sembiring, M. S. (2018). Politik Dinasti dan Desentralisasi. Local Wisdom, Social and Arts, 93-94.
Penulis : M. ikhsan dan Hafidra