Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the all-in-one-seo-pack domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/pmij5565/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Konsep Aswaja dalam PMII - PMII REMI

Konsep Aswaja dalam PMII

Aswaja

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis Islam. Selain Aswaja ada faham teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pada dasarnya Aswaja adalah sebuah konsep metodologi dalam memahami islam secara objektif yang mana lahir dari pada tuntutan sosial. Nabi Muhamad tidak pernah menyebutkan bahwa kaumnya adalah Aswaja , tetapi beliau selalu membawa narasi islam tanpa embel-embel ideologi apapun didalamnya.

Pada saat zaman Saidina Ali menjabat sebagai khalifah banyak terjadi konflik politik di tanah Arab, yang mana menyebabkan beberapa kelompok ada yang sangat menenang konflik tersebut dan membuat sebuah sekte baru bernamakan Khawarij. Beberapa yang pro terhadap saidina Ali menamai diri mereka dengan Syiah. Hal ini lah yang mendorong cendikiawan-cendikiawan intelek yang ingin menjaga agar ideologi islam yang diajarkan oleh nabi Muhamad ternodai oleh permasalahan konflik politik untuk merumuskan sebuah konsep baru Bernama Aswaja yang sampai hari ini kita kenali.

 Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.

Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasiona Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan.

Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut.

 Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah dan dalil-dalil aqliyah.[1]

PMII

PMII menetapkan Aswaja sebagai haluan organisasinya karena secara nilai dan kultur memiliki kesamaan dengan NU. Secara konsep, NU memberikan rumusan terhadap Aswaja, dan tafsiran NU itu yang dipakai oleh PMII. Aswaja sebagai haluan PMII tidak bisa terlepas dari sisi historisnya, khususnya tentang lahirnya PMII dari tubuh NU. Corak yang ada pada PMII merupakan turunan nilai dan kultur yang ada pada NU sebagai pendahulunya. Anggota/kader PMII dapat memulai pemahamannya terhadap Aswaja berdasarkan dalil-dalil yang tersedia dan terpercaya. Jika kita mengartikan ideologi sebagai pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Maka, jelas tergambar bahwa nilai-nilai aqidah, fiqih, dan tasawuf pada Aswaja NU menjadi ajaran Ideologis bagi anggota/kader PMII dalam segala aktivitas pergerakannya, baik secara personal maupun kelompok.


[

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *