Oleh Ihsanudin*
Kekerasan atas nama agama yang kembali merebak akhir-akhir ini, seperti Cikeusik dan Temanggung merupakan ancaman serius bagi bangunan Bhinneka Tunggal Ika. Di tengah kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu, kesadaran tentang kebhinnekaan seharusnya menjadi benteng terkahir keindonesiaan. Keberagamaan adalah fakta objektif yang tidak bisa dimungkiri dalam konteks Indonesia, sehingga merawat keberagaman di atas adalah tugas kita semua.
Dalam konteks Indonesia, sebenarnya keberagaman disokong oleh dua elemen penting, pertama, sikap masyarakat untuk bisa menerima perbedaan sebagai fakta dan harus dihormati, kedua keberadaan negara yang mampu menyatukan perbedaan di atas. Untuk itu, negara harus mampu melindungi semua warganya, antara lain dengan menjaga keragaman yang ada di dalamnya. Namun faktanya, seringkali negara bukan saja gagal dalam melindungi keragaman, melainkan justru memanfaatkan atau membiarkan kekerasaan yang diakibatkan oleh keragaman tu un<>tuk kepentingan jangka pendek.
Dalam karangka logika di atas, kasus Cikeusik dan Temanggung merupakan pertautan antara adanya kelompok masyarakat yang sulit menerima perbedaan dan pembiaran negara terhadap kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat.
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi (pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok).
Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Namun permasalahannya plurlisme itu hari ini menjelma menjadi sumber konflik dan ketegangan antar agama, lebih parah lagi konflik tersebut sudah didefinesikan sebagai anjuran agama yang di legitimasi dengan aspek teologis. Dampaknya sang pemeluk agama merasa bahwa konflik itu bagian dari perintah Tuhan dan pekerjaan suci.
Namun demikian dengan merebaknya berbagai kerusuhan sosial beberapa dekade akhir-akhir ini (seperti kasus Ambon, Poso, Sampit, Tarakan, Ahmadiyah, dll.), maka dengan itu, asumsi-asumsi tentang hubungan antar umat beragama dan perkembangan masyarakat yang dibayangkan di atas tadi berubah menjadi negatif. Dari analisis yang berkembang, ada kesan faktor non-agama seperti politik, ekonomi, etnis, dan lain sebagainya, cenderung ditempatkan sebagai sumbu pemicu terjadinya konflik realistik antara kelompok agama yang satu dengan kelompok agama yang lain. Sementara agama dinilai hanya dimanfaatkan untuk kepentingan konflik yang acapkali berkembang secara radikal menjadi zero sum game (pertarungan habis-habisan), seperti penghancuran terhadap infrastruktur yang dibangun dengan susah payah oleh para pemeluk agama.
Absolutisme agama
Selain faktor eksternal yang meliputi ekonomi, politik dan sebagainya. Ada unsur lain yang tak kalah pentingnya yaitu sikap adanya koflik itu bersumber dari distorsi epistemologis dalam menangkap absolutisme agama yang alih-alih memperkokoh komitmen ilahiah pemeluk agama, malah berkembang ke arah juvinile extremism (ekstrimisme mentah), yang dapat menumbuhsuburkan sikap eksklusivisme. sehingga terjadi claim of trurh atau dalam perilaku keagamaan disebut dengan juvinile ekstrimism (ekstrimisme mentah) yang pada akhirnya bermuara pada pendangkalan makna agama itu sendiri.
Dengan demikian, cara beragama yang berpandangan eksklusivisme teologis sangat tidak relevan dalam konteks kemajemukan bangsa ini. Multikulturalisme meniscayakan adanya inklusivitas dalam beragama, transparan, dan membuka ruang dialog dengan agama lain dalam upaya menumbuhkan kembangkan kesadaran dalam perbedaan dan menghapus mean streem bahwa agama yang lain adalah agama “kafir” dan tidak layak untuk berkembang di negeri ini. mengikis eksklusivisme negatif di masyarakat merupakan tuntutan yang mendesak. Dalam masyarakat yang plural, diperlukan pemikiran dan sikap inklusif yang berpandangan bahwa di luar agama yang dianutnya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Pandangan seperti ini perlu ditumbuhkan dalam masyarakat, dan bila ditinjau dari kebenaran ajaran masing-masing, pandangan inklusivisme tidaklah bertentangan karena seseorang masih tetap meyakini bahwa agamanyalah yang paling baik dan benar.
Bagi (alm) Abdurrahman Wahid, dengan pemikirannya yang tajam tentang agama dan kebangsaan. Dalam pemikiran kebangsaan ini, ia mengarahkan pemikiranya pada sikap inklusif dalam hidup beragama. Bagi Abdurrahman Wahid, untuk menciptakan keharmonisan antara umat beragama di Indonesia, tidak cukup hanya saling menghormati atau hanya tenggang rasa satu dengan yang lain. Dalam hubungan antar umat beragama itu, haruslah diwujudkan pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan, yaitu perasaan saling memiliki (Sense of Belonging) dalam kehidupan secara kemanusiaan “ukhuwah basyariyah” (Wahid, 1994: 173).
Dalam aplikasinya memang sikap menerima (welcome) terhadap agama lain tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada sikap tidak terima yang timbul dalam benak kita, tapi rasanya melihat fenomena konflik yang terjadi antar ummat beragama sikap untuk memunculkan pemikiran tentang perlunya mengembangkan apa yang disebut sebagai ‘Teologi Agama-Agama’. Yakni kesadaran untuk menerima eksistensi agama-agama lain, tidak hanya dalam kerangka pengakuan multikulturalisme sebagai realitas sosial melainkan dalam kerangka sikap tulus sebagai pandangan agamawi.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kepemudaan jelas memiliki komitmen kebangsaan yang kokoh. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan akar historis kultural organisasi mahasiswa ini yang tidak bisa dilepaskan dari perahu besarnya orgnisasinya, yakni Nahdlatul Ulama’. Disamping itu, kata Indonesia yang melekat pada PMII menjadi bukti kongkrit komitmen PMII terhadap ke-Indonesiaan. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang besar, PMII memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi untuk kemudian menjaga serta merawat aneka ragam kekayaan bangsa ini yang berupa pluralisme dan multikulturisme. Dengan demikian, tugas kita semua adalah menjamin kehidupan yang multi ini agar tetap rukun, damai dan tidak terjadi konflik.
* Penulis adalah Ketua Lembaga Kaderasi Nasional PB PMII 2008-2010, Kandidat Ketua Umum PB PMII 2011-2013, penulis buku “Tan Malaka dan Revolusi Proletar” (Resistbook, 2010)
Sumber: https://www.nu.or.id/opini/pmii-dan-komitmen-ke-indonesia-an-egklb