Apa yang terlintas dalam benak pikiran kita ketika disebut kata reformasi? Tentu akan ada banyak istilah yang menggambarkan peristiwa itu, mulai dari ulasan positif bahkan negative, Namun apapun itu, reformasi yang terjadi pada 1998 tersebut sebenarnya mempunyai konsekuensi yang mendasar dalam kehidupan bernegara kita. Salah satu konsekuensi tersebut adalah pergeseran
konsep bernegara dari supremasi kelembagaan menjadi supremasi hukum. Pertanyaannya, lantas apakah hukum yang supreme akan berbanding lurus dengan hadirnya keadilan?
Secara ide, konsep supremasi hukum berada satu level diatas supremasi kelembagaan. Kenapa? Karena hukum merupakan terjemah dari nilai-nilai yang ingin dibawa, sedangkan lembaga adalah organisasi politik yang syarat akan tukar tambah kepentingan. Namun yang menjadi masalah sekarang, hukum yang semestinya tegak lurus dengan keadilan justru menjadi instrumen kepentingan politik. Akalnya banyak, mulai dari buat undang-undang ugal-ugalan, sampai taruh orang dalam di lembaga kehakiman. Kalau begini, sepertinya yang bermasalah bukan konsep melainkan pengawalan dari konsep tersebut agar mampu dijalani dengan baik.
Reformasi yang dicita-citakan itu mestinya menghadirkan perubahan kearah yang lebih baik sebagaimana harapan para “reformis” dulu. Namun naas, bagai pungguk merindukan bulan, keinginan reformis itu sepertinya harus ditunda terlebih dahulu melihat kelakuan elite yang hari ini makin jauh dari semangat reformasi. Sialnya lagi, beberapa dari elite tersebut justru tokoh-tokoh pentolan 98.
Reformasi pada masanya, mampu menghadirkan harapan baru bagi banga Indonesia. Hadirnya tokoh-tokoh pro demokrasi serta penentang rezim tirani agaknya mampu menghadirkan angin segar. Hembusan angin telah berlalu, kini udara itu tak lagi segar. Harapan seakan sirna, terganti oleh realita yang pahit.
Salah satu produk penting reformasi adalah Mahkamah Konstitusi yang ironisnya pada pemilu kali ini justru menjadi tempat bagi bersemayamnya perilaku nepotis. Bagaimana tidak, Anwar Usman mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan paman dari seorang anak Presiden yang maju mencalonkan diri sebagai Cawapres pada pemilu kali ini.
Ada dua faktor besar yang menjadi sebab utama lahirnya reformasi kala itu, pertama adalah kehendak politik dengan tujuan membuka wadah demokrasi yang lebih partisipatif dengan rakyat. Kemudian faktor kedua adalah perbaikan ekonomi yang mampu menghadirkan kesejahteraan untuk rakyat. Maklum saja, pada masa itu harga bahan pokok terlampau tinggi dan mencekik rakyat.
Pembahasan Undang–Undang yang Ugal Ugalan.
Secara Kontestasi Pemilu 2024, gagasan revisi dan pengesahan beberapa regulasi mencuat ke-permukaan, Beberapa regulasi tersebut dalam hal ini adalah UU TNI dan Polri, UU Kementerian Negara, UU MK, dan UU Penyiaran. Dari adanya wacana legislasi yang dilaksanakan oleh DPR, apabila ditilik terdapat beragam respon buruk dari Masyarakat. Hal demikian terjadi berkaitan dengan isi substansi didalamnya yang tidak berpihak ke konstituen serta proses legislasi yang dilakukan secara diam-diam dan cepat. Pun sejatinya adanya proses legislasi pada masa transisi pemerintah baru kali ini, ditakutkan substansi regulasi yang digodok rentan hanya pesanan politik untuk memenuhi rezim. Maka dari itu, tidaklah tepat apabila kemudian membuat produk legislasi yang bermuatan politis tanpa substantif yang berkualitas dan berpihak kepada Masyarakat.
Wacana Penambahan Kementrian
Seperti diketahui, dalam Undang-undang Kementerian Negara salah satunya mengatur tentang jumlah kementerian. Dalam beleid ini, jumlah kementerian paling banyak adalah 34. Sehingga aturan ini harus direvisi jika pemerintah ingin menambah jumlah kementerian. ebelumnya, rapat pleno Badan Legislasi atau Baleg DPR telah menyepakati pengambilan keputusan atas hasil penyusunan RUU Kementerian Negara menjadi usul inisiatif DPR. Kesepakatan ini diambil dalam rapat pengambilan keputusan penyusunan Undang-undang pada Kamis, 16 Mei 2024.
Pertama, penghapusan Pasal 10 UU Kementerian Negara mengenai pengangkatan wakil menteri. Pasal tersebut berbunyi “dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.”
Kedua, perubahan Pasal 15 UU Kementerian Negara mengenai jumlah kementerian paling banyak
34 orang. Pasal tersebut diubah menjadi “(jumlah kementerian) ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.”
Ketiga, penambahan ketentuan mengenai tugas pemantauan dan peninjauan undang-undang.
Wacana penambahan kementrian menjadi 41 tentu membutuhkan perhatian khusus seperti alokasi anggaran yang sangat besar, sinkronisasi dengan Lembaga-lembaga lain, serta perekrutan sumber
daya manusia. Maka dari itu. Usaha yang diberikan untuk melakukan pembentukan kementrian baru sejatinya harus sesuai dengan kebutuhan yang jelas, bukan untuk motif bagi-bagi kekuasaan. Sementara itu, kecurigaan akan motif bagi-bagi kekuasaan tentu hadir dari besarnya jumlah koalisi Prabowo-Gibran dan tentunya akan berimplikasi pada mahalnya ongkos politik yang dikeluarkan oleh partai pendukungnya sehingga wacana penambahan kursi kementrian rentan indikasi adanya
praktik bagi-bagi kekuasaan.
Multifungsi TNI / POLRI, Indikasi Perampasan Hak Sipil
Rapat Paripurna DPR yang digelar pada Selasa (28/5) telah mengesahkan RUU perubahan ketiga atas UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Polri dan RUU perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi usul inisiatif DPR yang didalamnya terdapat beberapa poin krusial dalam revisi dua aturan tersebut. Semisal di RUU Polri terdapat beberapa rencana wewenang tambahan
sampai perubahan batas usia pensiun anggota Polri. Kemudian di RUU TNI juga diatur rencana penambahan batas pensiun usia prajurit dan rencana penempatan prajurit TNI aktif di kementerian/lembaga negara.
Dengan adanya RUU TNI Polri ini tentunya melemahkan sendi-sendi demokrasi seperti yang tertera pada konsiderans TAP MPR Nomor VI/MPR/2000, Akan banyak campur tangan militer dalam setiap kebijakan dan pelaksanaan undang undang, bahkan dapat merampas hak sipil dalam kontestasi politik atau struktur pemerintahan.
Reformasi Mati Dikubur oleh Tangan Reformis yang Oportunis
Kini pohon reformasi itu sudah usang, sebab ia ditanam oleh tangan-tangan oportunis. Lihat saja, orang yang dulu teriak-teriak anti KKN kini justru mendukung terang-terangan perilaku menjijikan tersebut. Pohon reformasi juga kini sudah layu sebab ia dicemari oleh polusi usaha tambang milik segelintir elite yang makin hari makin nyaman hidup sementara rakyat kecil mampu bertahan
hidup pun syukur. Pohon reformasi layu, kering, tidak berbuah, karena buah yang semestinya kita petik terlebih dahulu dicuri oleh gerombolan oligarki dan politisi. Malangnya dikau, Pohon reformasi yang seharusnya kokoh, berbuah dan tinggi menjulang kini tinggal cerita.
Penulis : Iqbal Alaik dan Rakan Syafik