Upaya Pencegahan Terhadap Kekerasan Berbasis Gender

Kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang diarahkan terhadap seseorang berdasarkan identitas gender mereka. Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ini telah dianggap secara global sebagai pelanggaran terhadap hak-hak dasar perempuan. Tak hanya itu saja, kekerasan ini juga terjadi dalam bentuk kekerasan verbal dan kekerasan fisik. Kekerasan ini pun dapat dialami oleh semua orang, semua identitas gender. Meski demikian, di dalam masyarakat yang umumnya masih menganggap laki-laki lebih superior dibanding perempuan, kekerasan berbasis gender akan lebih banyak dialami oleh perempuan. Secara global, satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun seksual sepanjang hidupnya. Kekerasan ini disebabkan oleh ketidakadilan gender dan penyalahgunaan kewenangan akibat adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dari konstruksi gender yang tidak setara. Maka dari itu, gender pelaku dan penyintas mempengaruhi motivasi kekerasan dan bagaimana masyarakat merespons atau mengecam kekerasan tersebut.

Dalam kekerasan ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pertama, kekerasan seksual. Adalah setiap tindakan baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki. Kedua, kekerasan fisik. Yaitu tindakan yang dapat melukai tubuh, termasuk pembatasan gerak fisik, dan tidak bersifat seksual. Kekerasan ini bisa dalam bentuk kekerasan seperti memukul, mencekik, atau menggunakan senjata atau alat berbahaya, dan lewat tindakan pengabaian yang mengakibatkan sakit atau luka fisik. Ketiga, kekerasan psikis. Kekerasan  ini dapat berupa tindakan verbal maupun nonverbal yang menyerang secara mental atau emosional. Misalnya intimidasi, pengrusakan barang, dan pelecehan seksual secara verbal. Keempat, kekerasan sosial dan ekonomi. Kekerasan ini dapat berakibat pada penelantaran ekonomi atau pemiskinan dari korban. Kekerasan sosial dan ekonomi terjadi ketika perempuan atau kelompok rentan lainnya dalam kondisi memiliki akses yang terbatas atau tidak mendapatkan akses pada pendapatan, layanan, keuangan, aset, dan kesempatan untuk memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi mereka.  Beberapa contohnya adalah diskriminasi, terhalangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang digaji, atau peniadaan kepemilikan, termasuk penelantaran.

Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badilag. Terkumpul sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan sebanyak 3.838 kasus, lembaga layanan sebanyak 7.029 kasus, dan Badilag sebanyak 327.629 kasus. Hal ini menggambarkan peningkatan secara signifikan sebesar 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 226.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data Badilag sebesar 52%, yakni 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020). Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga meningkat secara signifikan sebesar 80% dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus pada 2021. Sebaliknya, data dari lembaga layanan menurun 15%, terutama disebabkan sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi selama pandemi Covid-19, sistem pendokumentasian kasus yang belum memadai dan terbatasnya sumber daya.

Kita perlu memahami  dampak psikososial akibat terjadinya KBG. Artinya, kita perlu melihat bahwa KBG yang terjadi pada individu tidak hanya memiliki dampak bagi diri individu yang mengalami (dampak psikis maupun fisiknya), akan tetapi juga berdampak pada pola relasi hingga pada tatanan sistem bermasyarakat yang lebih luas termasuk dampak secara ekonomi bagi individu.  Secara fisik, KBG bisa mengakibatkan luka  atau bahkan hilangnya nyawa. Selain itu, pelaku KBG juga mungkin menyebabkan Penyakit Menular Seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, atau keguguran. Dari segi psikis penyintas, dapat mengalami peristiwa traumatis yang dapat mengakibatkan depresi, ketakutan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), menyakiti diri sendiri (self-harm), atau pikiran untuk bunuh diri. Ditambah lagi, penyintas seringkali harus menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi, dengan ada stigma dan penolakan dari keluarga atau masyarakat.

Maka itu, kita sebagai bagian dari masyarakat perlu memahami tentang kekerasan berbasis gender ini. Sangat penting bahwa langkah-langkah khusus perlu diambil untuk menegakkan hak asasi perempuan dan untuk mengatasi kekerasan berbasis gender yang menjadi sasaran mereka. Namun, untuk melakukan hal tersebut perlu dilakukan sinergis antara individu, keluarga, komunitas, hingga negara. Pencegahan dan penanganan yang bisa dilakukan dalam konteks negara. Misalnya, memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dan membuat peraturan perundang-undangan yang tepat. Kemudian yang tak kalah penting, negara wajib menahan diri untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Tidak hanya penanganan, pencegahan, pemulihan, tetapi juga perlindungan. Seperti pernyataan sebelumnya, diperlukan sinergis antara individu, keluarga, komunitas, hingga negara untuk mengambil peran dalam penanganan dan pencegahan kekerasan berbasis gender ini.( Lucky Rachmawati – UIN Surakarta )

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *